biografi

Sekapur Sirih Tentang Diriku

Bismillahirohmanirrohim, 18 tahun yang lalu.
Tepanya pada tanggal 3 April 1997, entah berapa bayi yang Tuhan takdirkan keluar dari rahim sang ibunya untuk melihat dunia ini saat itu, dan aku adalah salah satu diantara mereka yang berhasil hidup sampai detik ini karena kuasa-Nya. Dhea Fuzti A’lawiyah, nama tersebutlah yang orang tuaku berikan. Bayi perempuan ini lahir dari pasangan yang bernama bapak Agus Kuswara dan mamah Ai Inayah. Aku anak kedua dari pasangan itu, dan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Fajar Fajrul Ulum dan seorang adik laki-laki pula bernama Mohmmad Farhan Kholil. Aku bersyukur pada Allah swt, yang telah menitipkanku pada kedua orang tua yang amat memegang prinsip agama dalam  kehidupan ini. Sedari kecil telah ditanamkan nilai-nilai moral kehidupan juga pengajaran membaca Al-Qur’an, yang dimulai dari mempelajari iqra.
            Di tahun 2002 aku dimasukan ke taman kanak-kanak Al-Qur’an, bermain dan belajar mungkin saat itu yang hanya aku lakukan, tak mengenal masalah rumit atau beban hidup yang berat. Di sambung dengan melanjutkan sekolah di SDN Sarimulya yang berlokasi tak jauh dari kediamanku. Enam tahun berlalu dengan cepat, kami lulus dari masa putih merah. Ketika kelas 6 SD kami hanya berjumlah 16 orang satu angkatan, 6 orang perempuan dan sisanya laki-laki. Angkatan paling sedikit dibanding adik kelas kami selanjutnya yang mencapai angka puluhan.
            Sekolah putih merah telah selesai diperjuangkan, lagu sapu nyere pegat simpai pun kami nanyikan bersama di acara perpisahan kecil kami, satu langkah dan tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikan agar kelak cita-cita kami dapat terwujudkan. Dan Alhamdulillah ketika perpisahan tersebut aku mendapat nilai UN tertinggi se kecamatan Cipeundeuy. Dan kupersembahkan penghargaan itu untuk mamahku tersayang, yang selalu memotivasiku agar terus semangat dalam menuntut ilmu. Terimakasih untuk teman-teman para guru serta semunya. Saat itu aku tak sabar menginjakan kakiku untuk memasuki masa putih biru. Di jenjang SMP inilah tekanan amat terasa bagiku, pertama daftar di sekolah negri, SMPN 1 Cipeundeuy. Namun hanya satu tahun aku menimba ilmu di tempat tersebut, ini karena permintaan orang tua yang meninginginkan aku masuk pondok pesantren.
            Perbincangan ini terjadi setelah aku belajar kembali di SMPN tersebut, selama satu minggu setelah liburan semester. Di ruang tamu, saat itu bapa sudah duduk santai bersama kopi hitamnya yang masih mengepul dan mamah ada disampingnya. Aku duduk biasa saja, namun setelah maksud dari keinginan bapak dan mamah disampaikan akupun menjadi sedikit bingung juga galau. Aku harus bagaimana ? jujur saja hati ini berat sekali untuk masuk pondok pesantren, tapi disisi lain aku juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku. Aku telah nyaman sekolah di SMPN tersebut, nyaman dengan temannya, nyaman pula dengan guru-gurunya juga dengan lingkungannya, apalagi saat itu aku akan mengikuti perlombaan biantara bahasa sunda di Subang. Namun akhirnya aku tak bisa menolak keinginan orang tuaku itu, semua kenyamanan dan keasyikan itu akhirnya aku kubur dalam-dalam, membayangkan suasana pesantren yang sepertinya sangat berbeda dengan keadaan ku sekarang. satu minggu selanjutnya bapa telah selesai mengurusi perpindahanku. Beberapa orang guru menanyakan kenapa aku pindah sekolah, namun aku tak pernah bias menjawab hal tersebut, hanya dua orang temanku yang tahu bahwa aku akan pindah itu juga karena mereka ada saat seorang guru menanyakan hal tersebut padaku.
            Satu hari sebelum aku benar-benar tinggal di pondok, air mataku tak kuasa ku bendung, mamah mendekapku dengan erat, aku semakin tak kuasa menahan hati ini. Hari-hari sebelumnya aku telah survei bersama bapak ke pondok pesantren Al-Muhajirin, sekaligus daftar dan test. Dan akhirnya disinilah aku hidup. Aku harus menyesuaikan diri dengan kondisi pondok yang menuntutku untuk hidup mandiri dan bisa bersosialisasi dengan teman yang 24 jam bersama-sama. Di tempa hidup sederhana, seadanya deang doronagn dan motivasi yang kuat dari orang tua dan teman semua, akhirnya aku pun dapat menyelesaikan masa putih biru ku di SMPS Al-Muajirin, Purwakarta, dan melanjutkan SMA pun di SMAS Al-Muhajirin.
            Pondok pesantren yang aku kira mengerikan ternyata membumbui ku dengan kedewasaan, belajar arti bersyukur dan bersabar yang sesungguhnya, mengenalkan aku pada Tuhanku Allah SWT dengan sedekat-dekatnya. Memperlihatkan ku pada teman sejati, semua canda tawa sedih kisah dipondok pesantren Al-Muhajirin takkan pernah terlupakan, bersama ayahanda dan ibunda, teman-teman, guru-guru, pengurus pondok, penjaga kantin bahkan kucing yang selalu memangsa sisa makanan para santri. Semua begitu indah dan membungkuskan rindu yang dalam.
            Tahun ini aku telah lulus dari pondok pesantren Al-Muhajirin, bersama angkatanku sebanyak 102 perempuan dan 37 laki-laki, namun satu temanku bernama Ihsan Abdurrahman telah terlebih dahulu Allah panggil ke hadapan-Nya. Dan kami sangat kehilangan sosoknya.
 Dan selanjutnya akupun akan melanjutkan pendidikan di dunia perkuliahan. Jalur SNMPTN menjadi takdirku, Alhamdulillah. Universitas Padjajaran jurusan Psikologi itulah yang Ingsaallah akan menjadi salah satu tempatku belajar nanti. Doa, usaha, istiqomah, tawakal menjadi bekalku untuk senantiasa berusaha melewati mimpi-mimpiku dan membahagian semua orang khususnya membahagiakan kedua orang tuaku.
Alhamdulillah.

Komentar

Postingan Populer